Selasa, 19 Oktober 2010

Tugas Seminar Kelompok V ( Mayumi Mamuaja, Dedi Altena, Bato Wuring, Nasrul )


BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH

                 Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah yang sudah  maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut.
VALLEGA (2001) dalam perspektif geografis mengingatkan bahwa tantangan globalisasi yang berkaitan dengan kelautan adalah transportasi laut, sistem komunikasi, urbanisasi di wilayah pesisir, dan pariwisata bahari. Karena itu diperlukan kebijakan kelautan (ocean policy) yang mengakomodasi transportasi laut di sebuah negeri bahari.
          Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya.
Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Keamanan Laut bukan hanya penegakan hukum di laut, karena keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas pemanfaatan laut, yaitu : Pertama, laut bebas dari ancaman kekerasan secara terorganisasi dengan kekuatan bersenjata ancaman tersebut dapat berupa, pembajakan perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi, yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran. Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan. Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional seperti illegal fishing, illegal loging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain. Meyadari hal-hal diatas masalah yang kompleks dan semakin kompleks karena dilaut bertemu dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu kepentingan nasional dan internasional oleh sebab itu tegaknya, keaamanan di laut tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh satu institusi secara mandiri. Tentunya keberhasilan pengamanan laut, sangat bergantung kepada peduli atau tidaknya komponen-komponen lain yang menjadikan laut sebagai sumber pengabdiannya.



B.   Perumusan Masalah
       1.  Identifikasi Masalah
            Dari uraian diatas maka dapatlah diidentifikasi masalah yang ada yaitu :
1.      Indonesia merupakan negeri maritim yang merana.
2.      Kebutuhan akan kapal domestik dalam melayani pelayaran dalam dan luar negeri.
3.      Pengelolaan Pelabuhan yang masih rendah.
4.       Kerancuan perundangan yang ada di Indonesia yg berhubungan dengan kelautan.
       2.  Batasan Masalah
                        Dengan begitu banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam menangani perairan dan lautnya, maka saat ini pembahasan hanya akan dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan transportasi laut yang ada.
       3.  Pokok Permasalahan
                                    Dari latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, maka dapat                         dikemukakan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pentingnya transportasi laut bagi bangsa Indonesia.
2.      Bagaimana pentingnya transportasi laut internasional bagi Indonesia.
3.      Apakah ada  kaitannya transportasi laut Indonesia dengan transportasi laut Internasional.
C.   Tujuan dan Manfaat Penulisan
       1.  Tujuan Penelitian
      Tujuan penelitian yang  dilaksanakan dalam menyusun proposal ini antara lain adalah :
a.       Untuk mengetahui pentingnya transportasi laut bagi bangsa kita.
b.      Untuk mengetahui seberapa besar peranan transportasi laut Internasional bagi bangsa kita.
c.       Diduga ada kaitannya pelayaran laut domestik dengan  internasional.
       2.  Manfaat Penelitian
Sebagai bahan penyusunan proposal guna memenuhi persyaratan tugas kelompok mata kuliah skripsi  strata satu (S1) Manajemen Transport Trisakti antara lain :
a.      Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang ilmu transportasi laut karena negara kita adalah negara maritim. Selanjutnya informasi tersebut dapat di jadikan sebagai dasar referensi dan bahan perbandingan untuk penelitian lanjutan yang mendalam dibidang yang relevan dengan tulisan ini.


b.      Bagi Perusahaan Pelayaran
Di harapkan melalui penelitian ini dapat memberikan masukan-masukan kepada berbagai pihak yang berkaitan dengan transportasi laut termasuk didalamnya perusahaan pelayaran. Dan sebagai sumbangan pemikiran untuk menentukan kebijaksanaan yang akan datang serta dapat melihat kelemahan dari transportasi laut kita sehingga dapat dibenahi sekarang maupun dimasa yang akan datang.
c.       Bagi STMT Trisakti dan Masyarakat
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi dan acuan serta studi terhadap bentuk penelitian serupa didalam penyusunan skripsi.












BAB  II
KAJIAN TEORITIS

A.       Negeri Maritim yang Merana
       Sungguh ironis Indonesia merupakan salah satu produsen ikan cakalang, tuna, dan tongkol terbesar di dunia. Akan tetapi, dalam 10 tahun terakhir industri pengalengan ikan di negara kepulauan ini harus mengimpor ikan cakalang, serta tuna dari Filipina. Langkah itu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan pasokan bahan baku dari perusahaan penangkapan nasional yang hanya terpenuhi 33,3 persen dari total produksi sekitar 395.978 ton per tahun.
Selebihnya, komoditas tersebut diekspor ke Filipina, Thailand, Jepang dan sejumlah negara di Asia, Eropa, serta Amerika dalam bentuk gelondongan. Pilihan ini disebabkan harga ikan tuna dan cakalang gelondongan di luar negeri berkisar 600 dollar AS-750 dollar AS per ton. Sedangkan di Indonesia cuma dihargai paling maksimal seharga 500 dollar AS per ton.
Volume impor ikan cakalang dan tuna dari Filipina berkisar 60.000 ton-75.000 ton atau 20 persen-25 persen dari kapasitas terpasang sebesar 300.000 ton per tahun. Jumlah tersebut selalu meningkat seiring penurunan suplai dari perusahaan penangkapan ikan nasional.
“Kedengarannya aneh jika kita harus mengimpor lagi ikan cakalang dan tuna dari Filipina. Namun, itulah faktanya. Padahal, ikan yang diimpor ini mungkin saja merupakan hasil penangkapan nelayan dan kapal ikan Filipina secara ilegal di perairan Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APPI) Hendri Sutandinata.
Keterbatasan pasokan bahan baku itu tidak dapat dilepaskan dari maraknya aksi penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi selama belasan tahun terakhir. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2001 menyebutkan bahwa jumlah ikan yang ditangkap secara ilegal di kawasan perairan Indonesia mencapai kurang lebih 1,5 juta ton per tahun. Dengan nilai kerugian berkisar 1,0 milyar dollar AS sampai 4,0 milyar dollar AS.
Nelayan asing itu berasal dari Thailand, Filipina, Vietnam dan Myanmar, serta sejumlah negara Asia lainnya. Dalam aksi ilegal itu, mereka tak berjalan sendiri, tapi menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Mulai dari oknum petugas di laut hingga pengusaha raksasa di Jakarta, dan kota besar lain. Kerja sama itu terjalin sangat rapi menyerupai jaringan labalaba.

B.   Kebutuhan Kapal
              Dominasi pelayaran asing terlihat dari muatan (freight) kapal asing yang mengangkut muatan luar negeri (ekspor/impor), yakni menguasai muatan sebanyak 92,5 persen (322,5 juta M/T). Adapun muatan dalam negeri, kapal asing menguasai 50 persen dari seluruh angkutan total barang (89,8 juta M/T). Hal ini berarti perusahaan pelayaran nasional kebanyakan hanya menjadi agen dari kapal-kapal pelayaran asing. Dampaknya adalah bangsa Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menekan sumber inefisiensi dalam transportasi laut.
Dalam salah satu hasil riset, yang dipublikasikan Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai (Iperindo) pada September 2003, terungkap untuk mengoptimalkan peran armada nasional dalam memanfaatkan potensi muatan laut domestik diperlukan penambahan 50-60 unit kapal baru per tahun.
Sementara riset Asosiasi Pelayaran Niaga Indonesia (INSA), yang dipublikasikan Oktober 2003, memperkirakan pada 2020 RI membutuhkan armada kapal dengan total volume 45 juta ton bobot mati (DWT) untuk melayani sekitar 370 juta ton muatan laut domestik dan 550 juta ton muatan laut internasional.
Sedangkan pada 2010, menurut INSA, dibutuhkan 20 juta DWT armada kapal untuk mengangkut muatan laut domestik 250 juta ton dan 450 juta ton muatan laut internasional.
Pada saat itu total muatan angkutan laut tercatat 552,6 juta ton, yang terdiri atas 149,9 juta ton muatan internasional dan 412,7 juta muatan domestik.
Ironisnya, armada nasional hanya mampu meraih 22,48 juta ton atau 5,45% dari total potensi muatan internasional, sementara kapal asing menguasai 390,25 juta ton atau 94,55%.
Untuk potensi muatan domestik, armada nasional hanya meraih 89,9 juta ton atau 59,99%, sedangkan armada asing menggasak 59 juta ton atau 40,01%.
Sementara menurut INSA, pada 2001 anggotanya tercatat 935 perusahaan dengan total armada 3.092 unit kapal atau 4,22 juta DWT. Saat itu tercatat 121 unit kapal samudera atau 1,078 juta DWT, sehingga hanya mampu melayani 22,5 juta ton muatan laut internasional atau sekitar 5,5% dari total muatan angkutan luar negeri. Selama tiga tahun terakhir kemampuan armada nasional dalam mengambil potensi muatan domestik belum beranjak dari 60%, sedangkan muatan internasional paling tinggi 6%.

C.   Pengelolaan Pelabuhan
Rendahnya kualitas pelayanan di pelabuhan tidak terlepas dari kesalahan sistem pengelolaan kepelabuhanan yang sentralistik, monopolistik dan tidak efisien. Peran pemerintah yang seharusnya sebagai regulator, dalam kenyataannya masih diwarnai oleh kepentingan satu badan usaha (PT Pelindo). Pencampuradukan fungsi ini telah menyebabkan tersendatnya perkembangan kepelabuhanan, dan menghambat usaha untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.
Oleh karena itu, deregulasi kepelabuhanan yang akomodatif dan mengarah kepada restrukturisasi tatanan kepelabuhanan seharusnya menjadi bahan pertimbangan utama untuk memperbaiki pengelolaan kepelabuhanan di Indonesia. Deregulasi dan restrukturisasi tatanan kepelabuhanan harus diarahkan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dalam kepengusahaan ekonomi di pelabuhan sehingga dapat menarik minat investor, baik asing maupun domestik, untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Iklim persaingan usaha yang sehat akan mampu mewujudkan layanan kepelabuhanan yang modern dan berdaya saing global. Masuknya investasi akan menyebabkan terjadinya modernisasi fasilitas pelabuhan dan peningkatan kualitas kinerja pelayanan kepelabuhanan serta memberikan efek berantai (multiplier effect) pada sektor lain, sehingga harapan pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi akan dapat dicapai.
Contoh kasus Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan yang menangani sekitar 60% barang ekspor-impor Indonesia atau dengan transaksi Rp70 miliar hingga Rp80 miliar per hari kini dituntut kian efisien.
Asumsi angka itu diperoleh dengan angka bea masuk per barang dipukul rata berkisar 15% hingga 20%, sedangkan target per tahun pencapaian bea masuk melalui Priok Rp5 triliun hingga Rp6 triliun per tahun.
Kinerja dan pelayanan bongkar muat di Priok dipaksa berpacu dengan pasar yang semakin hari samakin mengkrucut, karena di saat era AFTA 2003 arus barang cenderung menurun. Atau sejak 2000 hingga kini menunjukkan penurunan ekspor-impor 6%-8% setiap tahunnya.

ARUS PERDAGANGAN DOMESTIK & INTERNASIONAL
2001-2002 (dalam TEU`s)
Lalu lintas kontainer
Tanjung Priok (Jakarta) 4.000.00
Tanjung Perak (Surabaya) 900.000
Tanjung Emas (Semarang) 250.000
Tanjung Bandar (Lampung) 75.000
Sumber:JICT
Sudah tentu pendapatan para pengusaha termasuk eksportir dan importir berkurang cukup signifikan terlebih awal 2003 ada kenaikan BBM 21,9%, telepon 15%, listrik 6% dan kenaikan upah minimum povinsi 7%. Sehingga margin keuntungan pengusaha sudah mencapai titik terendah salama lima tahun terakhir.
Kondisi yang tidak kondusif itu menyebabkan para pengusaha nasional untuk bersikap kritis agar semua yang berkaitan dengan rantai produksi dan terkait dikikis sedemikian rupa hingga lebih murah dan efisien.
Cukup beralasan di saat pengusaha terhimpit, Dephub dan Menneg BUMN menyatakan kebebasan tarif kegiatan pengapalan, yaitu tarif pemerintah hanya sebagai pedoman tarif tertinggi.
Kegiatan mekanisme pasar dalam penerapan tarif bongkar muat peti kemas internasional itu telah terjadi pada awal tahun lalu. Namun gaungnya belum santer karena telah terjadi persinggungan yang tidak etis. Diantaranya ada satu operator TPK yang mengancam suatu kapal yang tidak sandar di tempatnya, beberapa hari kemudian ketika berniat sandar di dermaga tidak mendapat pelayanan.
Akhirnya ancaman itu yang dikemas dengan dalih untuk jadwal ketepatan waktu, mengakibat mekanisme berkompetisi tidak berjalan, sudah tentu hal itu menggambarkan monopoli pelayanan peti kemas terselubung.
Kondisi makin memuncak, karena beberapa perusahaan pelayaran banyak yang dikecewakan karena pelayanan yang tidak prima, maka secara diam-diam ada beberapa perusahaan pelayaran melayangkan surat ke PT Pelabuhan Indonesia II tentang terjadinya ancaman itu.
Akhirnya Dephub dan Menneg BUMN menengahi masalah tersebut a.l. dengan dikeluarkannya SK Dirjen Perhubungan Laut No. PP72/2/10-00 tentang Penetapan Pengoperasian Terminal Peti Kemas di Regional Pelabuhan Tanjung Priok.
Sudah tentu dengan mulainya genderang persaingan pelayanan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok kini ada empat pengelola yang dapat menyelenggarakan kegiatan bongkar muat peti kemas, yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JICT), KSO Koja, PT Multipurpose Segoro, dan PT Multi Terminal Indonesia.
Koridor KPPU
Apa pun alasannya maka iklim persaingan pelayanan peti kemas internasional itu sudah sesuai dengan koridor yang ditetapkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dituangkan dalam UU No.5 tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pengguna jasa, eksportir, importir, operator, dan regulator sebaiknya menyingkirkan jauh-juah tentang adanya pihak yang dirugikan dengan penerapan iklim persaingan larangan praktik monopoli.
Terlebih pihak PT JICT yang secara resmi telah mendapat keterangan resmi dari Menhub dan Menneg BUMN tentang tidak adanya pelanggaran dalam kontrak privatisasi antara PT Pelabuhan Indonesia II dan Grosbeak Pte. Ltd.
Disebutkan dalam kontrak (31 Maret 1999) privatisasi senilai US$215 juta oleh PT Grosbeak yang memiliki 51% saham PT JICT-anak perusahaan PT Pelabuhan II-antara lain kontrak dermaga selama 20 tahun dan dalam radius 500 mil tidak boleh ada pembangunan terminal peti kemas (usaha sejenis).
Memang faktanya, tidak benar ada pelanggaran kontrak perjanjian privatisasi antara PT JICT dengan PT Pelabuhan Indonesia II, karena dermaga konvensional 009 dan 300 sudah lebih dulu ada sebelum privatisasi JICT.
Ketegasan sikap dari Dephub dan Menneg BUMN dalam hal ini terlihat agak ketinggalan, karena sesungguhnya pengguna jasa, eksportir, importir sudah beberapa tahun yang lalu, bertepatan ketika kuku Grosbeak menancap pada PT JICT mengatur dan menguasai pelayanan telah mendesak agar pemerintah mengambil tindakan.
Kini masalahnya, keterlambatan Dephub dan Menneg BUMN yang telah meninabobokan PT JICT telah mengakibatkan seolah-olah telah terjadi pelanggaran. Padahal yang benar adalah menerapkan kembali sistem mekanisme pasar sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Selanjutnya, PT JICT yang ter-bangun dari tidurnya dipaksa untuk menancap gas sekuat-kuatnya agar target 3,8 juta twentyfeet equivalent unit’s (TEU’s) akhir 2004 tercapai. Mungkinkan target itu tercapai? Tentu kalau tidak maka yang bersangkutan wan prestasi atau gagal memenuhi persyaratan dalam kontrak privatisasi.

D.   Kerancuan Peraturan Kepelabuhanan di Indonesia
Kepelabuhanan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 UU No. 21 / 1992 tentang Pelayaran, terdiri dari pelabuhan umum (pelum) dan pelabuhan khusus (pelsus). Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum dan pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
1. SKB 2 Menteri Tahun 1986
Terjadinya kerancuan dalam tatanan kepelabuhanan sebenarnya dimulai ketika keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan (waktu itu alm. Bapak Roesmin Nurjadin) dan Menteri Dalam Negeri (waktu itu alm. Bapak Soepardjo Rustam) No. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 pada tahun 1986. SKB dimaksud mengatur tentang Batas – batas Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) Pelabuhan. Sebenarnya SKB ini hanyalah mengatur penyelenggaraan kegiatan kepemerintahan pelabuhan yang dilakukan oleh Administrator Pelabuhan (ADPEL), tanpa menyinggung dan menulis tentang PT Pelindo II.

2. UU No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
Undang – Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, antara lain menyatakan tentang klasifikasi pelabuhan berdasarkan kepentingannya (pelabuhan umum dan pelabuhan khusus). Penyelenggaraan pelabuhan umum dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud tersebut. Badan usaha inilah yang kemudian diartikan sebagai PT Pelindo. Hal ini menunjukkan iklim usaha monopolistik yang diciptakan oleh pemerintah.

3. Penguasaan HPL dan Pelsus Oleh PT Pelindo
Disebutkan lebih lanjut dalam UU No. 21/1992 tentang pelayaran bahwa untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan umum, maka akan ditetapkan DLKr dan DLKp Pelabuhan. Namun ternyata PT Pelindo II menggunakan SKB 2 Menteri Nomor AL. 13/1986 – KM 31/AL-101/PHB-86 untuk mengklaim DLKr dan DLKp Pelabuhan sehingga mereka “menguasai” hak pengelolaan lahan (HPL) tanah pantai serta HPL tanah hasil reklamasi. Implikasinya di lapangan adalah PT Pelindo II “menguasai” semua pelsus di wilayah kota Cilegon dan PT Pelindo II memungut sewa perairan kapada semua pelsus seolah – olah perairan dan daratan tersebut milik PT Pelindo II. Sungguh kenyataan ini tidak dapat diterima secara logis karena pelsus – pelsus itu diselenggarakan dengan investasi dari pemilik pelsus itu sendiri tanpa bantuan sama sekali dalam bentuk apapun dari PT Pelindo II.

4. Degradasi Pelsus Menjadi DUKS
Tahun 1996 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 tentang
Kepelabuhanan yang merupakan petunjuk pelaksanaan Bab VI Kepelabuhanan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dalam PP 70 1996 terdapat istilah BUP sebagai penyelenggara pelabuhan, yang selalu diartikan sebagai PT. Pelindo (meskipun dalam kenyataannya tidak ada secara tegas menyebutkan bahwa BUP = PT. Pelindo). Poin terpenting lainnya adalah pernyataan bahwa Pelsus berada diluar DLKR dan DLKP Pelabuhan Umum telah dipelintir menjadi pengertian bahwa semua pelabuhan yang berada dalam DLKr / DLKp (SKB 1986) adalah bukan pelsus. Hal inilah yang menjadi titik dasar terdegradasinya pelsus menjadi apa yang diistilahkan dengan DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri). Pada tahun 1998 terbit Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 26 / 1998 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut. Dalam KM 26 / 1998 inilah, status pelsus secara tegas terdegradasi menjadi DUKS (Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri) dan hal ini tentunya bertentangan dengan UU No. 21 / 1992 tentang Pelayaran yang menyebutkan bahwa hanya ada 2 (dua) jenis pelabuhan, yakni pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.

5. Pemberlakuan Tarif Pelum Di Pelsus
Pada tahun 1997 terbit KM No. 28 / 1997 tentang Jenis, Struktur Dan Golongan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Untuk Pelabuhan Laut. KM ini merupakan petunjuk teknis dari PP 70/1996, dimana disebutkan pula bahwa tarif pada pelabuhan (umum) laut juga diberlakukan terhadap pelabuhan-pelabuhan khusus yang berada dalam DLKr / DLKp pelabuhan (umum) laut dimaksud.

6. Keharusan Bekerja Sama Dengan PT Pelindo
Kerancuan – kerancuan ini terus berkembang hingga pelsus juga diharuskan bekerja sama dengan penyelenggara pelabuhan umum (PT Pelindo). Kerja sama ini pada intinya mengatur tentang pembagian pendapatan jasa kepelabuhanan antara PT Pelindo selaku penyelenggara pelabuhan laut (umum) dengan pengelola DUKS – DUKS di mana pemungutan jasa kepelabuhan dilakukan oleh PT Pelindo dan PT Pelindo membaginya sesuai dengan persentase di mana besarannya diatur dan ditetapkan secara sepihak oleh PT. Pelindo (persentase dimaksud bervariasi dari mulai
50% sampai 100%). Jasa kepelabuhan yang dimaksud meliputi: uang labuh, uang tambat, dan uang demaga.

7. Penetapan Tarif Dilimpahkan Ke PT Pelindo
Pada Tahun 1999 telah dikeluarkan KM 30/1999 tentang Mekanisme Penetapan Tarif dan Formulasi Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Pada Pelabuhan Yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Keputusan Menteri Perhubungan ini berintikan pernyataan bahwa Direksi BUP, berhak menetapkan tarif atas Pelabuhan BUP (pelabuhan-pelabuhan umum yang diluar pengelolaan Kantor Wilayah Perhubungan). Hal ini secara jelas telah memberikan wewenang sebagai regulator kepada Direksi PT. Pelindo untuk mengatur kepentingan umum dan memberi peluang monopoli kepada PT Pelindo sebagai satu – satunya BUP di negeri ini. Akhirnya KM tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Direksi PT Pelindo pada tahun 2000 tentang tarif di pelabuhan umum, dan juga diberlakukan pada semua pelabuhan khusus.










BAB  III
METODE PENELITIAN

D.   Metode Pengumpulan Data
     Metode pengumpulan data yang digunakan adalah berdasarkan Analisis SWOT sesuai dengan strategi kebijakan kelautan Indonesia.
Kemungkinan kemajuan transportasi laut internasional di Indonesia dapat dianalisis sebagai berikut :
1. Strenght/kekuatan (faktor internal) :
a. Kondisi geografis Indonesia cukup strategis ;
b. Perbaikan perekonomian nasional ;
c. Otonomi daerah membawa semangat perbaikan kinerja.

2. Weakness/kelemahan (faktor internal) :
a. Investasi besar ;
b. Sumber Daya Manusia rendah ;
c. Sarana belum memadai ;
d. Prasarana kurang memadai ;
e. Kebijakan Pemerintah/ Penegakan hukum kurang memadai ;
f. Monopoli Perusahaan.

3. Opportunity/Peluang (faktor eksternal) :
a. Pangsa pasar besar ;
b. Kondisi perdagangan dunia meningkat ;
c. Deregulasi dan debirokratisasi.

4. Threat/ancaman (faktor eksternal) :
a. Persaingan dengan perusahaan asing ;
b. Citra negatif perusahaan Indonesia dimata internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar